Pada masa kini dengan adanya globalisasi, banyak sekali kebudayaan
yang masuk ke Indonesia, sehingga tidak dipungkiri lagi muncul banyak
sekali kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok
tersebut muncul dikarenakan adanya persamaan tujuan atau senasib dari
masing-masing individu maka muncullah kelompok-kelompok sosial di dalam
masyarakat. Kelompok-kelompok sosial yang dibentuk oleh kelompok anak
muda yang pada mulanya hanya dari beberapa orang saja kemudian mulai
berkembang menjadi suatu komunitas karena mereka merasa mempunyai satu
tujuan dan ideologi yang sama.
Salah satu dari kelompok tersebut yang akan kita bahas adalah kelompok
“Punk”
, yang terlintas dalam benak kita bagaimana kelompok tersebut
yaitu dengan dandanan ‘liar’ dan rambut dicat dengan potongan ke atas
dengan anting-anting. Mereka biasa berkumpul di beberapa titik
keramaian pusat kota dan memiliki gaya dengan ciri khas sendiri. “Punk”
hanya aliran tetapi jiwa dan kepribadian pengikutnya, akan kembali
lagi ke masing-masing individu. Motto dari anak-anak “Punk” itu
tersebut, Equality (persamaan hak) itulah yang membuat banyak remaja
tertarik bergabung didalamnya. “Punk” sendiri lahir karena adanya
persamaan terhadap jenis aliran musik “Punk” dan adanya gejala perasaan
yang tidak puas dalam diri masing-masing sehingga mereka mengubah gaya
hidup mereka dengan gaya hidup “Punk”..
“Punk” yang berkembang di Indonesia lebih terkenal dari hal fashion
yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan. Dengan gaya
hidup yang anarkis yang membuat mereka merasa mendapat kebebasan. Namun
kenyataannya gaya hidup “Punk” ternyata membuat masyarakat resah dan
sebagian lagi menganggap dari gaya hidup mereka yang mengarah ke
barat-baratan. Sebenarnya, “Punk” juga merupakan sebuah gerakan
perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan ”kita dapat
melakukan sendiri”
Jumlah anak “Punk” di Indonesia memang tidak banyak, tapi ketika mereka
turun ke jalanan, setiap mata tertarik untuk melirik gaya rambutnya
yang Mohawk dengan warna-warna terang dan mencolok. Belum lagi atribut
rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot, kaos hitam, jaket
kulit penuh badge atau peniti, serta gelang berbahan kulit dan besi
seperti paku yang terdapat di sekelilingnya yang menghiasi pergelangan
tangannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari busana mereka.
Begitu juga dengan celana jeans super ketat yang dipadukan dengan baju
lusuh, membuat image yang buruk terhadap anak “Punk” yang anti sosial.
Anak “Punk”, mereka kebanyakan di dalam masyarakat biasanya dianggap
sebagai sampah masyarakat Tetapi yang sebenarnya, mereka sama dengan
anak-anak lain yang ingin mencari kebebasan. Dengan gaya busana yang
khas, simbol-simbol, dan tatacara hidup yang dicuri dari
kelompok-kelompok kebudayaan lain yang lebih mapan, merupakan upaya
membangun identitas berdasarkan simbol-simbol.
Gaya “Punk” merupakan hasil dari kebudayaan negara barat yang ternyata
telah diterima dan diterapkan dalam kehidupan oleh sebagian anak-anak
remaja di Indonesia, dan telah menyebabkan budaya nenek moyang terkikis
dengan nilai-nilai yang negatif. Gaya hidup “Punk” mempunyai sisi
negatif dari masyarakat karena tampilan anak “Punk” yang cenderung
‘menyeramkan’ seringkali dikaitkan dengan perilaku anarkis, brutal,
bikin onar, dan bertindak sesuai keinginannya sendiri mengakibatkan
pandangan masyarakat akan anak “Punk” adalah perusak, karena mereka
bergaya mempunyai gaya yang aneh dan seringnya berkumpul di malam hari
menimbulkan dugaan bahwa mereka mungkin juga suka mabuk-mabukan, sex
bebas dan pengguna narkoba.
Awalnya pembentukan komunitas “Punk” tersebut terdapat prinsip dan
aturan yang dibuat dan tidak ada satu orangpun yang menjadi pemimpin
karena prinsip mereka adalah kebersamaan atau persamaan hak diantara
anggotanya. Dengan kata lain, “Punk” berusaha menyamakan status yang
ada sehingga tidak ada yang bisa mengekang mereka. Sebenarnya anak
“Punk” adalah bebas tetapi bertanggung jawab. Artinya mereka juga
berani bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang telah
dilakukannya. Karena aliran dan gaya hidup yang dijalani para “Punkers”
memang sangat aneh, maka pandangan miring dari masyarakat selalu
ditujukan pada mereka. Padahal banyak diantara “Punkers” banyak yang
mempunyai kepedulian sosial yang sangat tinggi.
Komunitas anak “Punk” mempunyai aturan sendiri yang menegaskan untuk
tidak terlibat tawuran, tidak saja dalam segi musikalitas saja, tetapi
juga pada aspek kehidupan lainnya. Dan juga komunitas anak “Punk”
mempunyai landasan etika ”kita dapat melakukan sendiri”, beberapa
komunitas “Punk” di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi
terbatas. Komunitas tersebut membuat label rekaman sendiri untuk
menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran.
Kemudian berkembang menjadi semacam toko kecil yang disebut distro. Tak
hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan
t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik
(piercing) dan tatoo. Produk yang dijual seluruhnya terbatas dan dengan
harga yang amat terjangkau. Kemudian hasil yang didapatkan dari
penjualan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membantu dalam bidang
sosial, seperti membantu anak-anak panti asuhan meskipun mereka tidak
mempunyai struktur organisasi yang jelas. Komunitas “Punk” yang lain
yaitu distro merupakan implementasi perlawanan terhadap perilaku
konsumtif anak muda pemuja barang bermerk luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar